KAIDAH-KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI

KAIDAH-KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI SYARIAH

PAISAL RAHMAT
088172699
Dosen Pembimbing: Dr. Rozalinda, M.Ag
Program Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang Jurusan Ekonomi Syari’ah 
 Alamat: Laru Dolok, Kecamatan Tambangan, Kab.Mandailing Natal
 Sumatera Utara
Blog: paisalrahmat.blogspot.go.id






Abstrak

Kaidah-kaidah fikih ekonomi ialah yang membahas tentang masalah ekonomi atau muamalah. (kaidah-kaidah fiqih) terdiri dari kaidah umum dan kaidah khusus, kaidah khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah satunya adalah di bidang Ekonomi (Muamalah) Kaidah yang khusus di bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting  karena perhatian sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan Hadist. Munculnya kaidah fikih ekonomi syariah dari persoalan-persoalan muamalah di kalangan masyarakat sehingga perlu adanya menegaskan berdasarkan kaidah-kaidah ekonomi syariah. Dalam pembahasan ini ada beberapa kaidah tentang ekonomi syariah yaitu kaidah asasiah, kaidah-kaidah prinsip ekonomi syariah, kaidah fiqhiyah berkaitan dengan akad, kaidah-kaidah fikih tentang kepemilikan, kaidah tentang penyelesaian kesulitan yang timbul dalam akad, kaidah dibidang transaksi, kaidah tentang kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad











BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja (ibadah) melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dengan manusia (muamalah). Hal ini dibuktikan dalam kitab suci Islam yakni al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu baik ilmu dunia maupun akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan manusia. Selain itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan memuat hukum yang tidak ada dalamal-Qur’an.
Dalam pengambilan hukum, ulama berusaha untuk memahami dan menafsirkan apa-apa yang dimuat dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan al-Qur’an bersifat global dan berfungsi sebagai sumber hukum dalam islam. Pengambilan hukum tersebut dalam islam disebut dengan istimbath al-ahkam. Hasil dari istimbath al-ahkam tersebut dibungkus ke dalam sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu fiqh.
Salah satu bagian dari ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan manusia serta urusan keduniawian adalah fiqh muamalah yang salah satu membahas kaidah-kaidah fikih ekonnomi seperti hal yang akan disampaikan pemaklah










BAB II
KAIDAH-KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI SYARIAH

A.    Defenisi Al-Qawa’id al-Fikhiyah
Al-Qawa’id bentuk jamak dari kata qaidah (qaidah). Para ulama mengertikan qaidah  secara etimologi dan termilogi, (lughatan wa istilahan). Dalam bahasa, qaidah  bermakna asas , dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkrit maupun yang abstrak, seperti kata –kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qowa;id al-din, artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-‘ilm, artinya kiaedah-kaedah ilmu. Penegrtrian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain. Dengan demikian, maka al-qawa;id al-Fikhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[1]
Para ulama memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah fikih secara istilah. Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi subtansinya tetap sama . sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan

مجموعة الأحكام المتشبهات التي ترجع إلى قياس واحد يجمعها
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas analogi yang mengumpulkannya”
Sedangkan Al-jurjani mendefenisikan kaidah fikih  dengnan :

قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها
“Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya)”.
Imam Tajjuddin an-Subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan:

الأمر الكلى الذي ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
“Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”.
Dari defenisi-defenisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).[2]

B.     Qawa’id Asasiyah
As-suyuti merumuskan qawa’id asasiyah yang dikenal dengan al-Asasuyatul khomsah, yaitu:
1.      Segala sesuatau dinilai berdasarkan tujuannya
الاءمر بمقاصدها
Kaidah fikih ini menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan baik menyagkut hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan dengan sesama manusia, nilainya disisi Allah ditentukan oleh maksud dan tujuan amal perbuatan itu dilakukan manusia.
Tujuan disyariatkan niat adalah untuk membedakan perbuatan ibadah dengan adat. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa aktivitas muamalat yang dilakukan akan bernilai ibadah disisi Allah jika dilakukan dengan niat ikhlas karena-Nya.[3]

2.      Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan,
 اليقين لايزال باالشك [4]
Kaidah ini menegaskan bahwa sesuatu yang diyakinkan tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu yang meragukan, kecuali yang meragukan terseut meningkat menjadi meyakinkan. Hal ini menunjukkan bahwa semua tindakan mesti berdasarkan pada yang diyakini.

3.      Kesulitan itu mendatangkan kemudahan
 المشقة تجلب التيسير[5]
Kaidah ini dibangun atas dasar landasan yang cukup kuat. Landasa kaidah ini terdiri dari sejumlah al-Qur’an, dalam kaitan ini allah berfirman:

 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ
Artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. 2:185)
Dari ayat itu dapat dipahami bahwa pada prinsipnya Allah menginginkan kemudahan pada muslim dalam menjalankanajaran agamanya. Allah tidak pernah sedikitpun menginginkan kesulitan dalam menjalankan ajaran agamanya.

4.      Kemudharatan harus dihilangkan,
 الضرار يزال[6]
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, demi menjaga kepentingan dasar dan kemaslahatan masyarakat, hukum asal yang bila masih dilaksanakan mungkin menyebabkan kesulitan, oleh karena itu kesulitan itu dapat dihilangkan dengan ketentuan atau hukum lain. Ketentuan-ketentuan ini pada umumnya berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya mudarat. Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan terlarang baginya untuk menjual hartanya dalam rangka melindungi hak orang lain yang berpiutang.

5.      Adat kebiasaan mempunyai kekuatan hukum,
 [7]  العادة محكمة
Ulama fikih terdahulu membingkai sejumlah yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat pada zamannya. Misalnya jual beli beras dapat dilakukan dengan cara ditakar (liter) atau ditimbang. Hal itu diserahkan kepada kebiasaan masyarakjat dan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Jual beli telur juga dapat dilakukan dengan cara timbang atau dengan menghitung perbutir. Semua itu tergantung kepada kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat.

C.     Kaidah-kaidah Fikih Tentang Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah
Kaidah fikih yang berkaitan dengan ekonomi syariah pada dasarnya merupakan penjabaran dari kaidah-kaidah asasiah yang telah dirumuskan para ulama terdahulu. Di jajaran fukaha terdapat lima kaidah (al-qawa’id al-asasiah). Kaidah-kaidah ini merupakn kaidah-kaidah yang disepakati para ulama. Dari kaidah inji akhirnya dikembangkan beberapa nkaidah yang merupakan kaidah-kaidah cabang.
Dalam bidang ekonomi syariah, dari kaidah dasar di atas muncul kaidah:

العبرة في العقود المقاصدها والمعاني لالآلفاظ والمباني
“Yang dianggap (penting) dalam akad adalah maksud dan bukan lafal dan bentuk perkataan”.
Berdasarkan kaidah ini, hasil yang diperoleh dari akad tidak tergantung kepada lafal yang digunakan para pihak yang berakad, tetapi tergantung pada maksud dan makna hakiki dari lafal yang diucapkan tersebut. Kaidah ini diterapkan bila terjhadi perbedaan antara maksud dan tujuan para pihak yang berakad dengan lafal yang diucapkan, yang pegang adalah maksud atau niat para pihak.
Hal ini sesuai dengan kaidah:

الآصل فى الكلام الحقيقة
Suatu kalimat pada asalnya adalah makna hakiki”
Karena itu bila terjadi keraguan dalam suatu akad , yang dipegang adalah makna hakiki dari akad tersebut sebab makna hakiki itulah yang diyakini.[8]
Adapun kaidah yang sangt mendasar dalam kajian muamalat adalah:

الآصل فى الآشيأ الا باحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah sehingga dating dalil yang menjelaskan keharamannya”.
Ini berarti kalau ada dalil yang menyatakan keharamnnnya, mentransaksikan maupun mendayagunakan juga diharamkan.
Dalam bidang muamalat kaidah ini mencakup seluruh akad yang ada dalam muamalat  seperti akad bai’, ariah, ijarah, dan lain sebagainya. Kaidah dfiindikasi dari QS Al-Baqarah (2:41):

هو الذى خلق لكم ما فى الأرض جميعا
“Dialah (Allah) yang tlah meciptakan untukmu semua yang ada di muka bumi ini”.

Berkaitan dengan kaidah ini juga dirumuskan kaidah-kaidah:

ما جاز بيعه جاز قرضه
“Sesuatu yang dibolehkan menjualnya maka dibolehkan pula menguntungkannya”

ما جاز بيعه جاز رهنه
“Sesuatu yang dibolehkan menjualnya maka dibolehkan pula merungguhkannya”

ماصح ارهن صح ضمانه
“sesuatu yang dibolehkan merungguhkannya maka dibolehkan pula menjaminkannya”
ماجاز بيعه جاز هبته
“Sesuatu yang dibolehkan menjualnya maka dibolehkan Pula menghibahkannya”.
Berdasarkan kaidah-kaidah ini, terdapat sesuatu yang boleh diperjual belikan maka dibolehkan pula untuk diqordhkan, dijadikan sebagai rahn, atau dhaman maupun dihibahkan. Misalnya memperjual belikan emas dibolekan dalam hukum islam. Emaspun dibolehkan menjadi objek utang piutang dan menjadi jaminan utang.
Namun, terhadap sesuatu yang diharamkan mengambilya atau memanfaatkannya haram pula mentransaksikannya, seperti babi, khamar, anjing (yang bukan penjaga dan berburu), haram memanfaatkannya maka haram pula mengambil keuntungan atau harganya. Dalam hal ini, dirumuskan kaidah-kaidah :[9]

ماحرم أخذه حرم أعطاؤه
“Sesuatu yang diharamkan mengambilnya diharamkan pula memberikannya”

ماحرم استعما له حرم اتخاذه
“Sesuatu yang diharamkan memakainya diharamkan pula mengambilnya”
Suatu akad harus berdasarkan kepada kerelaan dan kehendak kedua belah pihak. Ini berarti bahwa akad yang dilaksankan atas dasar intimidasi dan tekanan dari salah satu pihak atau pihak lain di anggap tidak sah. Hal ini berdasarkan kepada kaidah-kaidah:
الآصل فى العقد رضى المتعاقين وموجبها هو مااوجباه على انفسها بالتعاقد
“Dasar dari akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang berakad dan hasil yang diperbolehkan dari akad itu sendiri”
لايجوز لآحد ان يتصرف فى ملك الغير بلا اذنه
“Seseorang tidak boleh bertindak hokum terhadap harta orang lain tanpa izin pemiliknya”
لايجوز لآحد ان يأخذ مال أحد بلا سبب شرعى
“Seseorang tidak boleh mengambil harta (orang lain) tanpa sebab yang disyaratkan”

Kalimat bi la syar’iy pada kaidah ini dimaksudkan bahwa pengambil alihan suatau harta harus berdasarkan cara yang didizinkan syarak, seperti melalui akad jual beli, hibah, dan lain sebagainya dengan prinsip berdasarkan kerelaan kedua belah pihak.
Begitu pula dengan perintah seseorang kepada orang lain untuk bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tidak dibenarkan.
الآمر بالتصرف فى ملك الغير باطل
“Perintah mentasarrufkan barang orang lain (tanpa izin pemiliknya) adalah batal”
Oleh karena itu, dalam prinsip ekonomi syariah ditegaskan bahwa setiap transaksi yang dilakukan harus sesuai denngan ketentuan syariat.

ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط
“Ketentuan yag berdasarkan syariat lebih didahulukan daripada ketentuan yang berdasarkan syarat”.[10]
Transaksi jual beli didasarkan kepada terpenuhiya rukun dan syarat jual beli.  Ketentuan ini lebih utama daripada formalism admiistrasi transaksi jaul beli ataupun kesepakatan para pihak. Hal ini di dasarkan asumsi bahwa memenuhi syarat dan rukun jual beli adalah berdasarkan nash, sedangkan formalisasi administrasi dan kesepakatan para pihak adalah persoalan ijihadi.
Memakan harta yang yang halal dan diperoleh dari transaksi yang halal merupakan hal yang prinsip dalam ekonomi syariah. Sesuai dengan QS Al-Maidah (5:88) :

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Artinya:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”

Berdasarkan ayat ini memakan harta yang haram hukumnya haram. Dalam hai ini muncul kaidah:
اكل المال بالباطل حرام
“Memakan harta yang diperoleh dengan cara yang bathil hukumnya haram”.

Cara yang bathil adalah cara yang tidak dibenarkan syariah, misalnya mencuri, memperoleh keuntungan dari jual beli yang diharamkan, seperti babi, memperoleh gaji dari mengerjakan sesuatu yang diharamkan, missalnya menjadi pelayan di bar atau nigh club dan sejenisnya. Apapun diperoleh dari perbuatan batil dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah haram.

وساءل الحرام حرم
“Sesuatu yang menjadi sarana suatu perbuatan yang haram, maka sesuatu tersebut hukumnya haram”.
Berzina itu haram, maka menyediakan fasilitas untuk hal-hal yang mengarah kepada berzina misalnya nigh club, jual beli kondom secara bebas hukumnya haram,

الحريم له حكم ماهو حريم
“Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.

الآصل فى المنافع الحل وفى المضار التحيم
“Pada dasarnya semua yang bermanfaat boleh dilaksanakan dan semua yang mendatangkan bahaya haram dilaksanakan”.
Kaidah ini mengatur bahwa setiap transaksi yang mendatangkan manfaat menurut muamlah adalah halal, namun sebaliknya bila mendatangkan kemudaratan hukumnya haram. [11]

D.    Kaidah Fiqhiyah Yang Berkaitan Dengan Akad
a.       Kaidah tentang bentuk-bentuk akad
Akad pada umumnya dilakukan dengan lisan. Namun, adakalanya akad dilakukan melalui tulisan, isyarat, dan perbuatan (ta’ati). (Ali Haidar, t.th) melakukan akad dengantulisan, ulama Hanafiah dan Malikiyah menetapkan akad tersebut sah, baik para pihak yang mampu berbicara, maupun tidak dan baik dalam satu pihak yang mampu berbicara, maupun tidak dan baik dalam satu majelis, maupun berjauhan. Dengan ketentuan tulisan tersebut dapat dipahami oleh kedua belah pihak. Berdasarkan ini dirumuskanlah kaidah:

الكتاب كالخطاب
“Tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan lisan”

Pada zaman era globalisasi ini, kaidah ini lebih sering dilakukan dan dipandang lebih outentik dari pada akad dengan lisan.
Mengenai akad dengan isyarat merupakan kemudahan yang diberikan Islam terhadap orang yang tidak bisa berbicara dengan baik, seperti bisu ataupun gagap. Bagi orang bisu yang mampu menulis dengan baik maka akad yang dilakukan harus dengan tulisan. Karena tulisan mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi daripada akad dengan isyarat. Namun, bagi orang bisu yang tidak mempunyai tulisan yang baik maka dia boleh melakukan akad dengan cara isyarat, berdasarkan kaidah:
الإأشارة المعهود لللآخرس كالبيان باللسان
“Keterangan orang bisu melalui isyarat mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan lisan”
Dalam menetapkan hokum akad dengan perbuatan (aqd tba’athi), kalangan syafi’yah berpendapat, akad ini merupakan akad yang fasid lagi haram. Mereka beralasan bahwa akad ini tidak kuat dalam menunjukkan kerelaan para pihak karena kerelaan merupakan urusan yang tersembunyi dan tidak bisa diukur  tanpa dilafaskan, sehingga mereka menetapkan kaidah:

الطعاطى العقود الفاسدة حرام
“Akad tha’athi merupakan akad fasid lagi haram”
Kalangan Hanafiyah, Hanabilah, malikiyah menyatakan akad dengan cara ta’athi sah karena hal ini sudah menjadi ‘urf di tengah masyarakat dan itu merupakan petunjuk nyata akan kerelaan dalam akad. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, realita “bai ta’athi” ini sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat, baik swalayan, maupun pasar-pasar tradisional.

b.      Kaidah Tentang Khiyar Dalam Akad
Dua orang yang melakukan akad, di mana masing-masing dari mereka mempunyai hak khiyar untuk memilih antara melanjutkan atau membatalkan akad yang telah berlangsung. Khiyar menurut Wahbah az-Zuhaili terbagi kepada khiyar majelis, syarat, aib, rukyah dan lain sebagainya. Dalam bab khiyar para ulama merumuskan dawabit fiqh, yaitu:

ماثبت فيه خيار المجلس يثبت فيه خيار الشرط
“Sesuatu yang berlaku padanya khiyar majelis berlaku padanya khiyar syarat”
Kalau dalam khiyar majelis berlaku ma lam yatafarraqa yang dikembalikan kepada ‘urf daerah setempat. Pada khiyar syarat berlaku salasah ayyam yang juga dikembalikan jepada ‘urf daerah setempat.

العيب المثبت الخيار
“Cacat pada barang menetapkan adanya hak khiyar”
Kaidah ini menyatakan bahwa barang yang mempunyai cacat, bila kondisi cacat tersebut tidk diketahui oleh kedua belah pihak menetapkan adanya hak khiyar. Namun, apabila penjual mengetahui barang itu rusak ketika akad berlangsung, tetapi tidak dijelaskannya, akad jual beli tidak sah karena mengandung unsure gharar. Bila pembeli mengetahui kerusakan tersebut, tetapi dia tetap membelinya, maka bagi pembeli tidak ada lagi hak khiyar, karena dengan pembelian tersebut berarti dia rela dengan kondidi barang. Namun kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa khiyar majelis tidak ada dan hukumnya batal. Dalam hal ini mereka merumuskan kaidah:

الأصل فى العقد اللزوم
Pada dasarnya akad itu bersifat lazim (mengikat kedua belah pihak)”

Maksudnya, jual beli tetap berlangsung, baik para pihak telah berpisah , maupun belum. Mereka juga berpendapat bahwa jual beli tidak boleh dikaitkan dengan syarat apapun.

E.     Kaidah Di Bidang Transaksi
Kaidah-kaidah fikih di bidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusu kemudian dihimpun oleh ulama-ulama turki zaman kekhalifahan turki utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam majalah al-ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh Sembilan kadah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari 1851 pasal tentang transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah.
Dalam bab ini disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus bidang muamalah, di antara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah:

الأصل في المعاملة الإباحه أن يدل دليل على تحريمها
hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudhorabah atau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.

                                    الأصل في العقد رضى المتعا قدين و نتيجته إلتزماه بالتعاقد
hukum asal dalam bertransaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak . artinya tidak sah suatau akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu. Artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugukan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.

لا يجوز لأحد أن يتصرف في ملك غيره بلا إذنه
“tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.

الباطل لايقبل الإجازة
akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”[12]
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga. Meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain.

الإجازة اللا حقة كالو كا لة السا بقة
“izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”
Berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orag lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi di anggap sebagai perwakilan dari sipemilik harta.

الأجر والضمان لايجتمعان
“pemberian upah dan tangung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama.apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada dipasaran.
Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi penyewa meggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyawa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

الخراج بالضمان
“manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi suadah menjadi hak si pembeli.

الغرم بالغنم
“resiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggungjawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama.
إذ بطل الشئ بطل ما في ضمنه
“apabila suatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Sipembeli telah menerima barang dan sipenjual telah telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka,hak pembeli terhadap barang menjadi batal dah penjual terhadap harga barang jadi batal. Artinya, sipembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangya.

العقد على الأعيان كالعقد على منافعها
“akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”
Objek suatu akd bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatau barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang objeknya berupa jasa seperti jasa broker, maka pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

كل مايصح تأبيده من العقود المعاوضات فلايصح توقيته
“setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”
Akad muwa’adhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Dipihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerhakan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.

الأمر بالتصرف في ملك الغير باطل
“setiap perintah untuk bertindak hukum hak milik orang lain adalah batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintah untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukan seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal.

لايتم التبرع إلا بالقبض
tidak sempurna tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah.hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.

الجواز الشرعى ينافى الضمان
“suatau hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meningalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi.

لا ينزع شئ من يد أحد إلا بحق ثابت
“sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap”[13]

كل قبول جائز أن يكون قبلت
“setiap kubul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
Sesungguhnya dengan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu” (saya telah terima) dengan tidak mengurangi rincian dari ijab.

كل شرط كان من مصلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز
“setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut diperbolehkan”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat dinotaris.

F.      Kaidah Tentang Hak Kepemilikan
Pada prinsipnya islam mengakui hak kepemilikan individu. Namun, bila dalam hak milik seseorang terkandung kepentingan orang banyak, Negara dalam hal ini berhak mencabut hak kepemilikan tersebut. Pembebasan hak milik tersebut dengan ketentuan adanya ganti rugi yang adil dan seimbang. Hal ini didasarkan pada kaidah:

تصرف الإمام على رعية منوط با لمصلحة
Tidaklah seorang penguasa terhadap rakyatnya harus senantiasa mengacu kepada kemaslahatan.[14]
Misalnya, dalam tanah milik sesorang di dalamnya terdapat kandungan minyak bumu, Negara berhak membebaskan tanah tersebut dengan adanya sejumlah ganti rugi yang adil.
Seseorang yang memiliki sesuatu maka dia berhak terhadap segala kandungan dari sesuatu tersebut sesuai dengan bunyi kaidah:

من ملك شيأ ملك ماهو من ضروراته
“Siapa yang memiliki sesuatu, dia memiliki apa yang dikandungannya”
Misalnya, seseorang memiliki sebidang tanah, dia juga munguasai apa yang terkait dengan tanah tersebut, bumu, air dan segala isinya dan dia berhak mendayagunakan sesuai dengan kepentingannya.
رضا با لشئ رضى بما يتولد منه
“Rela terhadap sesuatu berarti rela terhadap konsekuensinya (apa yang ditimbulkannya).
Misalnya, izin yang diberikan oleh penggadai untuk memanfaatkan barang gadaiannya maka konsekuensi atau resiko dari keizinan tersebut, misalnya barang rusak. Hal ini harus diterimanya dengan rela
Waktu penuntuan hak yang sudah kadaluarsa, tidak akan menggugurkan hak seseorang. Hal ini sejalan dengan kaidah :
ألحق لا يسقط بالتقادم
“Hak tidak akan gugur karena kadaluarsa”.
Maksudnya, setiap hak itu tetap ada atau tidak hilang karena kadaluarsa. Dengan kata lain, berlalunya masa tidak akan menggugurkan hak seseorang. Berdasarkan kaidah ini, bila seseorang mempunyai piutang pada orang lain, dia belum menagihnya sehingga tanpa terasa sudah 20 tahun saja. Dalam hal ini, hak orang tersebut terhadap harta miliknya tidak akan gugur walaupun belum ada gugatan sebelumnya dan tidak akan gugur dengan kadaluarsa.[15]
Dalam persoalan hukum yang mengikuti dan yang diikuti, ulama merumuskan kaidah:
التابع تابع
Pengikut mengikuti yang diikuti”
التابع لا يفر دبالحكم
“Pengikut tidak terpisah dengan hukum tersendiri”
Maksadnya, sesuatu yang terkait dengan pokoknya dan sulit untuk dipisahkan maka hukumnya mengikuti hukum pokok dan tidak perlu ada ketentuan tersendiri yang berbeda dari hukum pokok. Misalnya, menjual beli ternak yang sedang bunting maka anak dalam perut induknya juga ikut terjual dengan terjualnya induk (ternak), dan tidak perlu membuat akad jual beli tersendiri.

G.    Kaidah Tentang Penyelesaian Kesulitan Yang Timbul Dalam Akad
Segala urusan bila mengalami kesulitan, aka nada jalan ke luarnya. Misalnya, dalam jual beli salam, pada dasarnya jual beli terhadap benda yang belum jelas atau belum ada ketika akad berlangsung. Ini tidak boleh dan dianggap batal. Dengan diisyaratkannya, jual beli salam merupakan suatu kemudahan bagi manusia yag kadang-kala sangat membutuhkan barang-barang tertentu tidak bisa terpenuhi dangan jual beli biasa. Dalam hal ini, kaidah-kaidah yang diterapkan adalah:
            المشقة تجلب التيسير
            “Kesulitan itu akan mendatangkan kemudahan”
          الأمر إذا ضاق إتسع
            “Segala kesulitan apabila sulit dapat dipermudah”
Senada degan kaidah di atas, kaidah mendasar lainnya yang perlu diperhatikan dalam kajian muamalah adalah:
          الحاجة تنزل الضورة عامه أو خاصة
“Kebutuhan itu menempati kedudukan darurat beik umum ataupun khusus”
Maksudnya dapat dipahami dari kaidah ini adalah keiginan melakukan transaksi yang pada dasarnya dilarang bukan haya disebabkan darurat, melainkan adanya kebutuhan karena kebutuhan itu menempati posisi yang sama dengan kondisi darurat. Misalnya, pembolehan jual beli salam yang pada dasarnya terlarang karena benda yang diakadkan itu belum nyata, tetapi jual beli ini dibolehkan karena manusia membutuhkannya dalam ragka menghilangkan kesulitan hudup.[16]
Menghilangkan kemudaratan dalam setiap akada merupakan kewajiban para pihak yag berakad. Hak khiyar aib adalah menghilangkan kemudaratan bagi para pihak yang mengetahui adanya cacat pada barang dagangan ketika akad berlangsung. Misalnya, seseorang tidak boleh menjual harta yang mempunyai cacat kepada orang lain tanpa dijelaskan ketika akad. Dengan membunyikan kerusakan barang berarti mendatangkan mudarat  kepada orang lain. Pada hal, ini diharamkan dan terlarang menurut syarak, sesuai dengan kaidah-kaidah:
الضرار يزال
“Kemudaratan itu harus dihilangkan”
يحتمل الضرار الخاص لضفع ضرر عام
“Kemudaratan itu harus ditangguhkan demi menghindari kemudaratan yang umum”
يحتمل المفاسد أولى من جلب المننافع
“Menolak segala bentuk kemudaratan lebih diutamakan daripada menarik manfaat”
Bila dalam suatau perkara terkumpul mendarat dan maslahat, menolak kemudaratan harus diutamakan karena akibat dari kemudaratan yang ditimbulkan mempunyai akses yang lebih besar daripada mengambil sedikit manfaat. Misalnya, jual beli minuman keras dan jual beli lotre harus dilarang dengan ketat karena dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar daripada tingkat kemaslahatannya. Begitu juga dengan cara menghilangkan kemudaratan harus ekstra hati-hati agar jangan sampai menimbulkan dampaklain atau setidaknya dampak negatif yang ditimbulkan hanya sedikit.[17]

H.    Kaidah Tentang Kebiasaan Masyarakat Dalam Melakukan Akad
Sesuatu yang telah berlalu ditengah masyarakat, baik berupa perkataan, maupun perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan dapat dijadikan sebagia dasar dalam menetapkan hukum. Dengan ketentuan, tidak bertentangan dengan ruh syari’at. Dalam hal ini ulama merumuskan kaidah:
العادة محكمة
Adat kebiasaan mempunyai kekuatan hukum”

Kaidah ini dirumuskan berdasarkan (QS. 7 : 199)


خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya:
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Dalam hadis nabi dijelasakan:
فمارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Kaidah yang dapat ditarik dari kaidah dasar ini adalah
إستعمال الناس حجة يجب العمل بها
“Susuatu yang biasa dilaksanakan oleh manusia, menjadi hujjah yang wajib diamalkan.
Segala sesuatu yang biasa dilakukan oleh masyarakat di satu daerah menjadi landasan untuk menetapkan hukum. Misalnya, dalam bidang ijarah antara majikan dan buruh harus menetapkan ketentuan waktu, pekerjaan, upah, dan segala yang terkait dengan akad tersebut. Ketentuan itu biasanya dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) daerah setempat.
Suatau perbuatan atau perkataan bisa dijadikan landasan dalam menetapkan hukum bila telah melembaga atau sering dilakukan oleh masyarakat setempat. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan kaidah:
إنما تعتبر العادة إذا اضطردت أو غلب
“Adat yang di anggap sebagai dasar dalam menetapkan hukum adalah adat yang telah melembaga atau secara mayoritas terjadi”.
العبرة للغالب الشائع لا للنا در
“Yang dapat dipegang adalah kebiasaan yang secara mayoritas berlaku, bukan yang jarang terjadi”.
Misalnya, dalam penetapan meninggalnya orang mafqud adalah umur 90 tahun. Ketetapan ini berdasarkan kepada kebiasaan bahwa manusia yang berumur lebih dari 70 tahun biasanya telah meninggal dunia, walaupun ada beberapa orang yang masih hidup, tetapi itu jarang terjadi.
Adat kebiasaan yang telah melembaga di masyarakat sama posisinya dengan syarat yang dibuat dalam akad. Begitu juga dengan ketentuan yang berdasarkan adat sama posisinya dengan ketentuan yang ditetapkan berdasarkan nash. Dalam arti, sama-sama harus diindahkan dan dipatuhi oleh masyarakat daerah setempat. Konsep ini berdasarkan pada kaidah-kaidah:
المغروف عرفا كا لمشروط شرطا
“Adat kebiasaan yang telah melembaga di tengah masyarakat sama posisinya dengan syurat yang dibuat dalam akad”
المعروف بين التجار كا لمشروط بينهم
“Kebiasaan yang terjadi di antara pedagang sama posisinya dengan syarat yang dibuat antara mereka”
التعيين بالعرف كا لتعيين بالنص
“Ketentuan yang ditetapkan berdasarkan adat sama posisinya dengan ketentuan yang ditetapkan berdasarkan nash.
Misalnya dalam bidang ‘ariyah, bila seseorang meminjam sebuah mobil untuk mengangkut barang, orang tersebut tidak boleh menggunakan melebihi kapasitas daya angkut mobil tersebut. Ketentuan atau syarat ini harus dipenuhi oleh musta’ir.
Dengan adanya perubahan zaman, akan membawa pengaruh terhadap perubahan kebutuhan manusia. Kondisi ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Pada zaman dahulu, sangat tabu bagi wanita yang melakukan profesi sebagai tukang angkat, buruh kasar, atau sebagai supir karena wanita di anggap hanya mampu melakukan pekerjaan ringan dan halus saja. Namun, seiring dengan perubahan zaman, tingkat kebutuhan manusia pun berubah maka sekarang sudah dianggap bisa wanta melakukan pekerjaan berat yang mempunyai profesi sebagai buruh angkat, hal ini sesuai dengan kaidah:
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
“Tidak dapat dipungkiri hukum berubah dengan berubahnya zaman”
Berkaitan dengan syarat yang dibuat dalam akad maka para pihak harus menjaga syarat tersebut susuai dengan kaidah:
يلزم مراعاة الشرط يقدر الأمكان
“Menjaga syarat dilazimkan menurut kadar yang memungkinkan”  
Kaidah ini dirumuskan berdasarkan hadis Nabi:
المسلمون على شروطهم
“Kaum muslim terkait kepada perjanjian yang mereka perbuat”
Seperti saat yang diajukan oleh penjual bahwa dia akan menahan barag sampai pembeli melunasi harga barang.

المعلق بالشرط يجب ثبوته عند ثبوت الشرط
“Sesuatu yang digantungkan kepada syarat adalah tetap ketika tetapnya syarat.
Kaidah ini mempunyai makna bahwa satu akad yang digantungkan kepada suatu syarat maka akad itu tetap selama syarat masih ada. Sebaliknya, bila syarat telah hilang, akad di anggap tidak ada. Misalnya, dalam akad jual beli salam yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Bila barang yang dipesan belum datang waktu jatuh tempo, akad salam menjadi batal karena telah melewati batas waktu yang disyaratkan maka akad tersebut masih dianggap berlangsung.[18]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Kaidah-kaidah fiqih tentang ekonomin (muamlah) merupakan kaidah fiqih yang khusus membahas permasalahan ekonomi (muamalah).
2.      Kaidah dasar Ekonomi (Muamalah) adalah: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
3.      Kaidah tentang akad dalam Ekonomi (Muamalah) yaitu: “Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut
4.      Kaidah tentang adanya unsur keridhoan dalam jual beli: “Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan

B.     Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan di dalamnya. Oleh karena itu, Pemakalah sangat membutuhkan saran dari pembaca, terutama Ibu Dosen selaku pembimbing dalam mata kuliah ini.









DAFTAR PUSTAKA
Nashr farid Muhammad Washil, Abdul Aziz, Qawa’id Fiqiyah, Jakarta: Amzah cet ke-2, 2009
Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nadzair; Surabaya : Alhidayah, 2005
Usman Muchlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 1997
Mujib Abdul, Al-Qowa-‘idul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2001
Firdaus, Al-qowaidu Alfiqhiyyah, Padang: Imam Bonjol Press, 2015
Muhammad Washil Nash Farid dan Muhammad Azzam Abdul Aziz, Qowa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Hamzah, 2009
Asymuni Rahman, Qaidah Qaidah Fikih, Jakarta:  Bulan Bintang, 1976
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta: Rajawali Perss, 2017
Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah Yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2010
Rozalinda, Pengantar Fikih Muamalah, Padang: Imam Bonjol Press, 2015




[1] Nashr farid Muhammad Washil, Abdul Aziz, Qawa’id Fiqiyah, (Jakarta: Amzah cet ke-2, 2009), hal 2-3
[2]Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuti, ,al-Asybah wa an-Nadzair; (Surabaya : Alhidayah, 2005)., hal. 204
[3] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 1997)., h 107-108
[4] Abdul Mujib, Al-Qowa-‘idul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001)., h 19
[5] Firdaus, Al-qowaidu Alfiqhiyyah, (Padang: Imam Bonjol Press, 2015)., h 71
[6] Nash Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qowa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Hamzah, 2009)., h 17
[7] Rahman Asymuni, Qaidah Qaidah Fikih, (Jakarta:  Bulan Bintang, 1976)., h 127
[8] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Perss, 2017)., h 399-400
[9] Ibid., h 401
[10] Ibid., h 402-403
[11] Ibid, h., 404
[12] Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010)., H, 130-133
[13] Ibid., h 134-137
[14] Rozalinda, Pengantar Fikih Muamalah, (Padang: Imam Bonjol Press, 2015., h 116-118
[15] Ibid, 118-119
[16] Ibid, 120-121
[17] Ibid., 121
[18] Ibid.,h 123-126

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAHAM DAN SAHAM SYARIAH

Konsep Tindakan Ekonomi