Konsep Tindakan Ekonomi

A.    Konsep Tindakan Ekonomi dalam sosiologi ekonomi

Menurut Weber, tindakan ekonomi dapat berupa rasional, tradisional dan spekulatif-irrasional. Tindakan ekonomi yang rasional adalah seorang pelaku ekonomi yang bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan kondisi atau keadaan yang terjadi pada saat itu misalnya seorang lulusan SMP yang melamar pekerjaan di suatu bank sebagai office boy, tindakan ekonomi tradisional bersumber dari tradisi atau konveksi misalnya seseorang pertukaran hadiah antara sesama komunitas dalam suatu perayaan, tindakan ekonomi spekulatif-irrasional merupakan tindakan berorientasi ekonomi yang tidak mempertimbangkan instrument yang ada dengan tujuan yang hendak dicapai misalnya menggandakan uang melalui kekuatan para normal.

Dalam mikroekonomi actor diasumsikan mempunyai pilihan dan prefrensi yang telah tersedia dan stabil. Tindakan actor bertujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan (individu) dan keuntungan (perusahaan). Tindakan tersebut dipandang rasional secara ekonomi. Sebaliknya sosiologi mencakup beberapa kemungkinan tipe tindakan ekonomi. Seperti Max Weber mengatakan, tindakan ekonomi dapat berupa rasional, tradisional, spekulatif rasional.[1]

Ekonomi mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki pilihan-pilihan ataupun preferensi tertentu. Tindakan individu bertujuan untuk memaksimalkan utilitas dan keuntungan yang selanjutnya dalam ekonomi disebut prinsip rasionalitas. Akan tetapi pandangan tersebut berbeda dari sudut pandang sosiologi, yakni seperti yang dikemukakan Weber mengenai tindakan yang dalam sosiologi dibedakan menjadi tindakan rasional dan tindakan tradisional (afektual).

Para ekonom cenderung menganggap bahwa tindakan ekonomi dapat ditarik dari hubungan antara preferensi selera dengan harga ataupun jasa pada sisi lainya. Sementara pandangan sosiolog memberi makna tindakan aktor yang dikonstruksi secara historis. Mengenai tindakan ekonomi, para ekonomi relatif tidak memperhatikan aspek power atau kekuasaan karena menurut sudut pandang ekonomi tindakan ekonomi dianggap sebagai pertukaran diantara yang sederajat. Sedangkan menurut sosiologi tidaklah demikian, melainkan power ataupun kekuasaan dipandang sebagai salah satu dimensi yang penting dalam menentukan tindakan ekonomi.[2]

 

B.     Hambatan pada Tindakan Ekonomi 

Menurut Smelser dan Swedberg, hal yang sangat mendasar bagi ekonomi dalam memandang hambatan tindakan ekonomi seseorang adalah selera dan adanya kelangkaan sumber daya termasuk kelangkaan teknologi dan tenaga ahlinya. Sementara sosiologi lebih luas dari itu, yakni hambatan actor dalam melakukan tindakan ekonomi juga dibatasi oleh beberapa faktor seperti hubungan antara actor selain terbatasnya sumber daya.[3]

Tindakan ekonomi biasanya tidak berada dalam ruang hampa, suatu ruang yang tidak melibatkan hubungan sosial dengan orang atau kelompok lain. Tetapi pada umumnya sebuah tindakan ekonomi terjadi dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan tersebut tidak hanya sekedar hubungan ekonomi, yaitu hubungan yang terkait dengan respons stimuli pasar, aksi reaksi penawaran permintaan atas suatu produk; tetapi lebih jauh lagi berkembang menjadi hubungan sosial. Contohnya hubungan antara patron dan klien akan menghambat interaksi ekonomi yang terjadi dalam masyarakat, dan yang menjadi hambatan yang lain seperti hilangnya kepercayaan seorang bisnis dari satu pihak terhadap rekan bisnisnya. 

Hubungan Ekonomi dan Masyarakat Para sosiolog tidak terbiasa melihat kenyataan dengan melakukan cateris paribus terhadap faktor-faktor yang dipandang berpengaruh terhadap suatu kenyataan sosial. Dengan demikian, sosiologi ekonomi selalu memusatkan perhatian pada: 

1.      Analisis sosiologis terhadap proses ekonomi, misalnya proses pembentukan harga antara pelaku ekonomi, proses terbentuknya kepercayaan dalam suatu tindakan ekonomi, atau proses terjadinya perselisihan dalam tindakan ekonomi. 

2.       Analisis hubungan dan interaksi antara ekonomi dan institusi lain dari masyarakat, seperti hubungan antara ekonomi dengan agama, pendidikan, stratifikasi sosial, demokrasi atau politik. 

3.      Studi tentang perubahan institusi dan parameter budaya yang menjadi konteks bagi landasan ekonomi dari masyarakat, contohnya semangat kewirausahaan di kalangan santri, kapital budaya (cultural capital) pada masyarakat nelayan atau etos kerja dikalangan pekerja tambang. [4]

 

C.     Konsep Tindakan Ekonomi dalam Persefektif ekonomi Islam

Dalam tradisi intelektual Islam setiap pembahasan mengenai manusia (dan perilakunya) selalu dilihat dalam konteks tiga realitas dasar yang saling berhubungan : Tuhan, manusia dan alam. Ketiga realitas dasar ini merupakan unitas (ketunggalan) yang di dalamnya terdapat struktur-struktur hubungan yang sangat rumit dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh struktur hubungan yang senantiasa berubah ketika terdapat perubahan sudut pandang. Prinsip dasar hubungan ini, dalam arti teologi dogmatisnya, bahwa tuhan adalah pencipta (khaliq) dari dua realitas lainnya (makhluk).

            Terdapat dua jenis hubungan dalam setiap hubungan di dalam dan di antara ketiga realitas dasar tersebut : vertical dan horizontal. Sifat kedua hubungaan adalah aktif-reseptif.

            Hubungan vertical, selayaknya hubungan subyek-obyek, adalah dimana salah satu realitas bersifat aktif (mempengaruhi) dan lain bersifat reseptif (dipengaruhi), seperti hubungan antara tuhan dan manusia sebagai hamba. Sedang hubungan antara tuhan dan munusia sebagai khilafah adalah bersifat horizontal dimana keduanya aktif dan reseftip secara timbale balik. Demikian hal dengan hubungan-hubungan antara tuhan dengan alam, manusia dengan alam. Tuhan dengan dirinya sendiri, hubungan diantara segenap alam, dan antara individu manusia denngan dirinya sendiri dan sesamanya.

            Merujuk pada konsepsi tentang tindakan ekonomi yang melihat aktor sebagai entitas yang dikonstruksikan secara sosial , dalam istilah keislamannya disebut ‘amal al-iqthishady atau al-tadabir al-iqtishadyyat, yakni ‘amal (perbuatan, tindakan) yang mengandung makna atau bernuansa ekonomik, atau bahkan motif ekonomi. ‘Amal  merupakan konsep sosiologis karena ia dilihat dalam kerangka hablun min al-nas (hubunngan antara sesama manusia, intraksi sosial) di dalam mana aktor mengaktualkan nilai-nilai, motif atau niatnya. Seperti dinyatakan nabi Muhammad, bahwa ‘amal (tindakan) itu tergantung pada niatnya, dan karenanya makna dari ‘amal sesorang (aktor) dipahami melalui motif (niat) yang ditujukan pada orang lain yang menjadi sasaran perhatian ‘amaliyyatnya dalm suatu intraksi sosial.[5]

 

D.    Tindakan Ekonomi dan Rational Choice Theory

Teori pilihan rasional berada dalam tataran middle range theory yang berlandaskan kepada teori umum (grand theory), yakni tindakan rasional yang digagas oleh Max Weber. Berlandaskan grand theory dari Weber mengenai rasionalitas atau lebih spesifiknya adalah tindakan rasional, serta perspektif pilihan rasional pada tataran middle range theory seperti yang dikemukakan oleh Coleman, maka periode waktu terakhir ini berkembang studi-studi yang mengkaji kapital sosial secara khusus, dan representasi kapital secara umum dari sudut pandang Sosiologi Ekonomi, dikaitkan dengan pengambilan keputusan transaksi sosial ekonomi.

Oleh karenanya, berdasarkan penjelasan di atas maka dalam tindakan rasional ada beberapa kata kunci yang harus dikaitkan satu dengan yang lainnya, yakni aktor (yang diasumsikan rasional), pilihan dari beragam sumber yang tersedia, penguasaan atas sumber-sumber itu oleh si aktor, dan kepentingan pribadi. Dengan demikian timbul pertanyaan mengapa Coleman tidak mengacu kepada pemikiran Fungsionalisme Struktural dalam menjelaskan teori pilihan rasional. Hal ini tidak terlepas dari kritiknya terhadap aliran sosiologi dan aliran ekonomi, yakni dua aliran yang berupaya menjelaskan kapital sosial hingga dekade 1980-an.

Kritik yang dikemukakan adalah mengenai cacat yang sangat fatal bagi perkembangan teori yang tidak mempertimbangkan atau mengabaikan aktor yang memiliki dalam tanda petik “mesin tindakan”. Kritik itu ditujukan kepada aliran sosiologi yang menganggap aktor itu dibentuk oleh lingkungan (sistem atau struktur), bersifat pasif, serta tidak memiliki kekuatan dari dalam untuk menentukan tindakannya. Faktanya dalam dunia sosial tidaklah demikian. Menurut Coleman, individu manusia bukan hanya sekedar tempat ataupun media bagi bekerjanya suatu struktur sosial. Akan tetapi sebagai:

1.      of Weak Ties yakni manfaat ekonomi, yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Untuk hal ini ia menjelasakan bahwa pada tataran empiris, informasi baru misalnya, akan cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan teman dekat yang umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu, dan kenalan baru relatif membuka cakrawala dunia luar individu.

2.       The Importance of Structural Holes, yakni adanya peran lubang struktural diluar ikatan lemah maupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar (outsider).

3.      The Interpenetration of Economic and Non-Economic Action yaitu adanya kegiatan kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial.[6]

 

Berdasarkan kategori weber, maka rasionalitas ‘amal al-iqtishadiy imengacu pada titik moderasi atau keseimbangan di antara kedua kepentingan (individu-kolektif ) tersebut. Karena kepentingan individu dan kepentingan kolektif acapkali bertentangan, terlebih biasanya kepentingan individu lebih mengemuka (determinan), maka dimensi kesadaran aktor menempati posisi penting dan bertindak sebagai unsure ‘pengekangan’ terhadap hasrat dan motif individualnya tersebut. Kecenderungan hasrat manusia untuk selalu menimbun harta, misalnya, akan memperoleh respon dari kesadarannya untuk tunduk dan patuh pada perintah kewajiban membayar zakat. Ini berarti, kesadaran aktif terhadap hasrat, atau hasrat reseptif terhadap kesadaran. Dalam shilat al-rahim setiap aktor (yang berintraksi) secara sadar mereduksi sebagaian kepentingan individualnya sadar mereduksi sebagian kepentingan individualnya melalui tindakan yang diperintahkan atau diijinkan oleh ajaran islam.

Dalam pembagian kesadaran ala Giddens, kesadaran praktis yang menjadi kunci untuk memahami structural (masyarakat Islam) dalam konteks shilat al-rahim bukan saja merupakan pemicu keterulangan praktik sosial (rutinitas) tetapi juga merupakan hasil keterpengaruhan budaya, dan karenanya dalam dirinya sendiri shilat al-rahin berwatak transformatif sehingga dapat menciptakan struktur masyarakat yang tidak terlepas dari harapan dan kesadaran kulturalnya. Dengan ungkapan lain, ‘rutinitasi’ praktik sosial berlangsung dalam hubungan dinamis antara kesadaran praktis sosial berlangsuang dalam hubungan dinamis antara kesadaran diskutif yang lebih memiliki tujuan. Hubungan dinamis di antara keduanya terjadi karena selalu ada proses reproduksi kesadaran dalam diri manusia (aktor individu) sebagai hasil dari intraksi kedua jenis kesadaran tersebut.

Bagi Giddens, ketika kesadaran diskursif yang merupakan kapasitas aktor untuk mengentrol dirinya menggejala secara luas sehingga memicu terjadinya de-rutinisasi praktek sosial, maka hal ini dapat mendorong perubahan structural. Dalam shila al-rahim, perubahan struktral (yang mengatasi aktor individuan). Ini semata-mata karena karakter dasar yang melekat pada shila al-rahim itu sendiri yang memuat prinsif-prinsif intraksi sosial yang menghendaki pemberlakuan nilai-niali kebenaran dan keadilan berdasarkan hubungan kasih sayang. [7]



[1] Damsar, Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 10

[2] Ketut Gede Mudiarta, Perspektif Dan Peran Sosiologi Ekonomi Dalam Pembangunan Ekonomi Masyarakat, (Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 29 No. 1, Juli 2011 )., hlm 57

[3] Ibid

[4]http://poetrachania13.blogspot.com/2010/12/pendekatan-sosiologis-tentang-ekonomi.html di Akses Pada Selasa 25 September 2018 pada jam 9 : 40 

[5]Muhammad Fachrur Rozi, Sosiologi Ekonomi Islam, (Jawa Tengah : StiEF-IPMAFA, 2016)., h 33 - 36

[6] Ketut Gede Mudiarta. Op.Cit., hlm 58 - -59

[7]  Muhammad Fachrur Rozi, Op.Cit, hlm 46-48


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAIDAH-KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI

SAHAM DAN SAHAM SYARIAH